BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ketika Nabi Muhammad saw mulai menyiarkan agam Islam yang beliau terima
dari Allah SWT di Mekkah, kota ini mempunyai sistem kemasyarakatan yang
terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Di pertengahan abad kedua dari
abad VI M, jalan dagang Timur-Barat berpindah dari Teluk Persia-Euphrat di
Utara dan Laut Merah-Perlembahan Neil di Selatan, ke Yaman-Hijaz-Syria.
Peperangan yang senantiasa terjadi antara kerajaan Byzantin dan Persia
membuat jalan Utara tak selamat dan tak menguntungkan bagi perdagangan. Mesir,
mungkin juga sebagai akibat dari peperangan Byzantin dan Persia, berada dalam
kekacauan yang mengakibatkan perjalanan dagang melalui Perlembahan Neil menjadi
tak menguntungkan pula.
Dengan pindahnya perjalanan dagang Timur-Barat ke Semenanjung Arabia,
Mekkkah yang terletak di tengah-tengah garis perjalanan itu, menjadi kota
dagang. Pedagang-pedagangnya pergi ke Selatan membeli barang-barang yang datang
dari Timur, yang kemudian mereka bawa ke Utara untuk dijual di Syria.
Dari pedagang transit ini, Mekkah menjadi kaya. Perdagangan ini dipegang
oleh Quraisy dan orang-orang yang berada dan berpengaruh dalam masyarakat
pemerintah kota Mekkah. Pemerintah dijalankan melalui majlis suku bangsa yang
anggotanya terdiri dari kepala suku yang dipilih berdasarkan kekayaan dan
pengaruh mereka dalam masyarakat.
Kekuasaan sebenarnya terletak dalam tangan kaum pedagang tinggi. Kaum
pedagang tinggi ini, untuk menjaga kepentingan-kepentingan mereka, mempunyai
perasaan solidaritas yang kuat, terlihat dalam perlawanan mereka terhadap Nabi
Muhammad saw, sehingga beliau dan para pengikutnya terpaksa meninggalkan Mekkah
menuju Yastrib tahun 622 M. sebagaimana diketahui bahwa beliau termasuk kedalam
golongan ekonomi sederhana.
Suasana di Yastrib berbeda dengan kota Mekkah. Kota ini bukan kota
perdagangan, tetapi kota pertanian. Masyarakatnya tidak homogen, tetapi terdiri
dari bangsa Arab dan bangsa Yahudi.
Islam berkembang dengan cepat dan pesat di Yastrib hingga meluas ke Jazirah
Arab dan sekitarnya. Bahkan pada perkembangan berikutnya Islam menyebar hingga
ke daratan Afrika dan Eropa. Ajarannya yang penuh kasih sayang dan rasionalitas
tanpa memaksa memudahkan tersebarnya Islam di segala penjuru.
Namun seiring perkembangannya yang begitu pesat, mulai timbul berbagai
persoalan dari dalam tubuh umat Islam sendiri. Sejak wafatnya Rasulullah saw,
banyak bermunculan masalah-masalah pelik yang sukar dituntaskan bahkan
permasalahan tersebut semakin kompleks.
Penyebaran Islam
yang telah meluas di berbagai penjuru menjadi titik sentral perebutan tampuk
kepemimpinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang Aliran Qodariyah
Qadariah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya
kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah
suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh
Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya; Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri. Dalam bahasa
Inggris paham ini dikenal dengan nama free will and free act.
Awal munculnya aliran
Qadariyah menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah
pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimisqy. Ma’bad
adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan
Al-Basri. Adapun Gholin adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya
menjadi maula Usman bin Affan.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin,
memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah
adalah orang Irak yang semula baeragama Kristen kemudian masuk Islam dan
kembali lagi keagama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil
faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib
yang memperoleh informasi dari Al-Auzi, adalah Susan.
W. Montgomery Watt berdasarkan tulisan Hellmut Ritter yang ditulis dalam
bahasa Jerman, menyebutkan bahwa faham qadariyah ditemukan dalam kitab
Ar-Risalah karya Hasan Al-Basri. Namun versi ini menjadi perdebatan panjang
bahwa Hasan Al-Basri seorang Qadariyah. Dalam kitab ini, dia menulis bahwa
manusia berhak memilih mana yang baik dan buruk bagi dirinya.
B. Latar Belakang
Aliran Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat
Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu
artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maf’ul)
mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa.
Asy-Syahratsan berpendapat bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan
perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada
Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan
terpaksa. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination,
yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qada dan qadar Tuhan.
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian
disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam,
Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahamiyah dalam kalangan
Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam
gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Namun dalam perkembangannya, faham
al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin
Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin dirrar.
Ada juga yang berpendapat bahwa faham Jabariyah muncul Karena kehidupan
bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar
dalam cara pandang hidup mereka.
Masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh paham jabariyah
ini. Bangsa Arab, yang pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari
pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir,
dengan panasnya dengan terik serta tanah dan gunungnya yang gundul. Dalam dunia
yang demikia, mereka tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling
mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan
tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan
suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak tergantung pada
kehendak natur. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalistis.
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul sejak dulu. Benih-benih
itu terlihat dalam peristiwa sejarah:
a)
Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang
bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk
memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran
tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b)
Khalifah Umar bin Khatab pernah menangkap seorang
pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku
mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan umar menganggap orang itu
telah berdusta kepada Tuhan. Kemudian Umar menghukum pencuri itu dengan dua
hukuman karena mencuri dipotonglah tangannya, kmudian karena menggunakan dalil
takdir Tuhan kemudian di hokum dera.
c)
Pada pemerintah Daulah Bani Umyah, pandangan tentang
al-jabar semakin memperkuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya,
memberikan reaksi keras kepada penduduk syiria yang diduga berfaham jabariyah.
C. Pemikiran
Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia
dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun
berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang
dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang
diperbuatnya. Dalam kiatan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan
balasan surga kelak diahirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka
kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir
Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang
dilakukan bukan atas keinginginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir
yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang menyatakan
bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam
perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah
ditentukan sejak Azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu
adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh
isinya, sejak Azali. Yaitu hokum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah
sunatullah.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat
diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali
mengikuti hokum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempenyai
sirip seperti ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga, manusia
tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang berates
kilogram, dan lain-lain. Akan tetapi, manusia ditakdirkan mempunyai daya piker
yang kreatif. Demikian juga anggota tubuh lainya dapat berlatih sehingga dapat
tampil membuat sesuatu.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk
menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Mereka berpegang
pada ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya:
Dalam surat
Al-kahfi:
Atinya: Dan Katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia
kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek. (Q.S. Al-Kahfi 18:29)
Dalam surat Ali
Imran:
Atinya: Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah
(pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat
kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana
datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Q.S.Ali
Imran 3:165)
Dan juga surat
Ar-Ra’d: 11
Atinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang
selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS.
Ar-Ra’d 13 :11).
Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa malaikat yang tetap menjaganya secara
bergiliran dan ada pula beberapa malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan
yang dikehendaki dalam ayat Ini ialah malaikat yang menjaga secara bergiliran
itu, disebut malaikat Hafazhah.
Tuhan tidak akan
merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran
mereka.
D. Pemikiran
Aliran Jabariyah
Aliran Jabariyah menurut Asy-Syahratsani, dibagi dalam dua kelompok
pemikiran, ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adalah
pendapat yang mengatakan bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan
perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau
seseorang mencuri, perbuatan itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi
timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara
pemikiran-pemikiran yang dianggap ekstrim yaitu pemikiran Jahm bin Shofwan dia
berpendapat sebagai berikut:
- Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
- Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
- Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalm hati.
- Kalam Tuhan adalah makhluk.
Aliran Jabariyah moderat mengatakan bahwa tuhan memang menciptakan
perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia
mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan
kasab. Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak
seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Pendapat-pendapat aliran Jabariyah moderat antara lain:
- Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudka perbuatan-perbuatan itu.
- Tuhan tiak dapat dilihat di akhirat.
Aliran Jabariyah menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an dan mereka mengatakan bahwa
pendapat merekalah yang benar diantara dalilnya yaitu:
Atinya: “Kalau sekiranya kami turunkan malaikat
kepada mereka, dan orang-orang yang Telah mati berbicara dengan mereka dan kami
kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga)
akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak
Mengetahui.
maksudnya untuk menjadi saksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
Atinya: Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
Atinya: Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang
membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat
demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada
orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui.
BAB III
PENUTUP
A. Tanggapan
Penulis
Dalam menanggapi permasalahan aliran teologi Qadariyah dan Jabariyah, perlu
kita cermati dulu pandangan atau pemikiran aliran keduanya. Dan apa saja
permasalahan yang timbul dengan munculnya aliran Qadariyah dan Jabariyah. kedua
aliran ini menggunakan Al-Qur’an sebagai rujukan pola piker mereka.
Pemikiran aliran Qadariyah dan Jabariyah bertolak belakang bahkan
bertentangan. Menurut aliran Qadariyah manusia itu adalah pencipta bagi semua
perbuatannya, manusia itu dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendak sendiri, dan sedangkan menurut aliran Jabariyah bahwa manusia itu
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa, semua perbuatannya itu
disandarkan kepada sang Pencipta yaitu Allah. Pemikiran inilah yang menjadikan
kedua aliran saling bertentangan. Satu menganggap manusia itu pengendali dari
dirinya sendiri sedangkan yang satunya lagi bahwa manusia tidak bisa
mengendalikan dirinya sendiri.
Kalau kita mau berfikir secara rasional maka kita tidak akan membenarkan
kedua aliran tersebut, mengapa?, karena kalau memang manusia itu bisa berbuat
atau mencipta bagi semua perbuatannya maka manusia itu bisa juga mengalahkan
kehendak Allah, dan jika semua perbuatan itu disandarkan kepada Allah maka
manusia akan seenaknya sendiri. Maksudnya manusia akan mengatakan bahwa Allah
lah yang telah memerintahkan atau menggerakan kami. Kalau orang mempunyai
pandangan seperti ini apa gunanya Syari’at Islam dan apa gunanya Allah mengutus
Nabi Muhammad. Sedangkan misi dari Allah mengutus Beliau itu untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Dan disisni haruslah seimbang antara kudrah Allah
dan kudrah manusia.
B. Kesimpulan
Bahwa sanya Qadariyah dan Jabariyah adalah aliran teologi Islam yang saling
kontradiksi, memang kedua aliran teologi ini mengambil dalil-dalilnya dari
Al-Qur’an, tetapi dalil yang diambil difahami hanya dalam kesempitan, padahal
maksud dari dalil tersebut lbih detail lagi dan lebih luas dari pada apa yang
di fahami oleh mereka. Karenanya aliran teologi ini ditentang habis-habisan
oleh para ulama dan nabi Muhammad pun pernah melarang sahabatnya untuk
memperdebatkan masalah takdir Allah mengapa karena dihawatirkan akan salah
menafsirkan ayat-ayat Allah mengenai takdir.
DAFTAR PUSTAKA
DR. Razak abdul M.Ag,dan DR.Awar Rosihan, M,Ag. Ilmu
Kalam, Pustaka Setia. Bndung. 2006
Prof. Dr. Nasution Harun. Teologi Islam, Universitas Indonesia (UI-Press),
Jakarta 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar