Minggu, 09 Juni 2013

Aliran Jabariyah dan Qadariyah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ketika Nabi Muhammad saw mulai menyiarkan agam Islam yang beliau terima dari Allah SWT di Mekkah, kota ini mempunyai sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Di pertengahan abad kedua dari abad VI M, jalan dagang Timur-Barat berpindah dari Teluk Persia-Euphrat di Utara dan Laut Merah-Perlembahan Neil di Selatan, ke Yaman-Hijaz-Syria.
Peperangan yang senantiasa terjadi antara kerajaan Byzantin dan Persia membuat jalan Utara tak selamat dan tak menguntungkan bagi perdagangan. Mesir, mungkin juga sebagai akibat dari peperangan Byzantin dan Persia, berada dalam kekacauan yang mengakibatkan perjalanan dagang melalui Perlembahan Neil menjadi tak menguntungkan pula.
Dengan pindahnya perjalanan dagang Timur-Barat ke Semenanjung Arabia, Mekkkah yang terletak di tengah-tengah garis perjalanan itu, menjadi kota dagang. Pedagang-pedagangnya pergi ke Selatan membeli barang-barang yang datang dari Timur, yang kemudian mereka bawa ke Utara untuk dijual di Syria.
Dari pedagang transit ini, Mekkah menjadi kaya. Perdagangan ini dipegang oleh Quraisy dan orang-orang yang berada dan berpengaruh dalam masyarakat pemerintah kota Mekkah. Pemerintah dijalankan melalui majlis suku bangsa yang anggotanya terdiri dari kepala suku yang dipilih berdasarkan kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
Kekuasaan sebenarnya terletak dalam tangan kaum pedagang tinggi. Kaum pedagang tinggi ini, untuk menjaga kepentingan-kepentingan mereka, mempunyai perasaan solidaritas yang kuat, terlihat dalam perlawanan mereka terhadap Nabi Muhammad saw, sehingga beliau dan para pengikutnya terpaksa meninggalkan Mekkah menuju Yastrib tahun 622 M. sebagaimana diketahui bahwa beliau termasuk kedalam golongan ekonomi sederhana.
Suasana di Yastrib berbeda dengan kota Mekkah. Kota ini bukan kota perdagangan, tetapi kota pertanian. Masyarakatnya tidak homogen, tetapi terdiri dari bangsa Arab dan bangsa Yahudi.
Islam berkembang dengan cepat dan pesat di Yastrib hingga meluas ke Jazirah Arab dan sekitarnya. Bahkan pada perkembangan berikutnya Islam menyebar hingga ke daratan Afrika dan Eropa. Ajarannya yang penuh kasih sayang dan rasionalitas tanpa memaksa memudahkan tersebarnya Islam di segala penjuru.
Namun seiring perkembangannya yang begitu pesat, mulai timbul berbagai persoalan dari dalam tubuh umat Islam sendiri. Sejak wafatnya Rasulullah saw, banyak bermunculan masalah-masalah pelik yang sukar dituntaskan bahkan permasalahan tersebut semakin kompleks.
Penyebaran Islam yang telah meluas di berbagai penjuru menjadi titik sentral perebutan tampuk kepemimpinan.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Aliran Qodariyah
Qadariah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Dalam bahasa Inggris paham ini dikenal dengan nama free will and free act.
Awal munculnya aliran Qadariyah menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimisqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Gholin adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula baeragama Kristen kemudian masuk Islam dan kembali lagi keagama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzi, adalah Susan.
W. Montgomery Watt berdasarkan tulisan Hellmut Ritter yang ditulis dalam bahasa Jerman, menyebutkan bahwa faham qadariyah ditemukan dalam kitab Ar-Risalah karya Hasan Al-Basri. Namun versi ini menjadi perdebatan panjang bahwa Hasan Al-Basri seorang Qadariyah. Dalam kitab ini, dia menulis bahwa manusia berhak memilih mana yang baik dan buruk bagi dirinya.


B.     Latar Belakang Aliran Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar  (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa.
Asy-Syahratsan berpendapat bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qada dan qadar Tuhan.
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahamiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Namun dalam perkembangannya, faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin dirrar.
Ada juga yang berpendapat bahwa faham Jabariyah muncul Karena kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar dalam cara pandang hidup mereka.
Masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh paham jabariyah ini. Bangsa Arab, yang pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya dengan terik serta tanah dan gunungnya yang gundul. Dalam dunia yang demikia, mereka tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak tergantung pada kehendak natur. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalistis.
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul sejak dulu. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah:
a)    Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b)    Khalifah Umar bin Khatab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan umar menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Kemudian Umar menghukum pencuri itu dengan dua hukuman karena mencuri dipotonglah tangannya, kmudian karena menggunakan dalil takdir Tuhan kemudian di hokum dera.
c)    Pada pemerintah Daulah Bani Umyah, pandangan tentang al-jabar semakin memperkuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk syiria yang diduga berfaham jabariyah.

C.    Pemikiran Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kiatan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak diahirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang menyatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak Azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak Azali. Yaitu hokum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunatullah.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempenyai sirip seperti ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga, manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang berates kilogram, dan lain-lain. Akan tetapi, manusia ditakdirkan mempunyai daya piker yang kreatif. Demikian juga anggota tubuh lainya dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Mereka berpegang pada ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya:

Dalam surat Al-kahfi:
Atinya: Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Q.S. Al-Kahfi 18:29)
Dalam surat Ali Imran:
Atinya: Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Q.S.Ali Imran 3:165)
Dan juga surat Ar-Ra’d: 11
Atinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS. Ar-Ra’d 13 :11).
Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat Ini ialah malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut malaikat Hafazhah.
Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.

D.   Pemikiran Aliran Jabariyah
Aliran Jabariyah menurut Asy-Syahratsani, dibagi dalam dua kelompok pemikiran, ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapat yang mengatakan bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang  dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemikiran-pemikiran yang dianggap ekstrim yaitu pemikiran Jahm bin Shofwan dia berpendapat sebagai berikut:
  1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
  2. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
  3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalm hati.
  4. Kalam Tuhan adalah makhluk.
Aliran Jabariyah moderat mengatakan bahwa tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab. Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Pendapat-pendapat aliran Jabariyah moderat antara lain:
  1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudka perbuatan-perbuatan itu.
  2. Tuhan tiak dapat dilihat di akhirat.
Aliran Jabariyah menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an dan mereka mengatakan bahwa pendapat merekalah yang benar diantara dalilnya yaitu:
Atinya: “Kalau sekiranya kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang Telah mati berbicara dengan mereka dan kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui.
maksudnya untuk menjadi saksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.                   
Atinya:  Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
Atinya: Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.














BAB III
PENUTUP

A.    Tanggapan Penulis
Dalam menanggapi permasalahan aliran teologi Qadariyah dan Jabariyah, perlu kita cermati dulu pandangan atau pemikiran aliran keduanya. Dan apa saja permasalahan yang timbul dengan munculnya aliran Qadariyah dan Jabariyah. kedua aliran ini menggunakan Al-Qur’an sebagai rujukan pola piker mereka.
Pemikiran aliran Qadariyah dan Jabariyah bertolak belakang bahkan bertentangan. Menurut aliran Qadariyah manusia itu adalah pencipta bagi semua perbuatannya, manusia itu dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak sendiri, dan sedangkan menurut aliran Jabariyah bahwa manusia itu mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa, semua perbuatannya itu disandarkan kepada sang Pencipta yaitu Allah. Pemikiran inilah yang menjadikan kedua aliran saling bertentangan. Satu menganggap manusia itu pengendali dari dirinya sendiri sedangkan yang satunya lagi bahwa manusia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Kalau kita mau berfikir secara rasional maka kita tidak akan membenarkan kedua aliran tersebut, mengapa?, karena kalau memang manusia itu bisa berbuat atau mencipta bagi semua perbuatannya maka manusia itu bisa juga mengalahkan kehendak Allah, dan jika semua perbuatan itu disandarkan kepada Allah maka manusia akan seenaknya sendiri. Maksudnya manusia akan mengatakan bahwa Allah lah yang telah memerintahkan atau menggerakan kami. Kalau orang mempunyai pandangan seperti ini apa gunanya Syari’at Islam dan apa gunanya Allah mengutus Nabi Muhammad. Sedangkan misi dari Allah mengutus Beliau itu untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dan disisni haruslah seimbang antara kudrah Allah dan kudrah manusia.


B.     Kesimpulan
Bahwa sanya Qadariyah dan Jabariyah adalah aliran teologi Islam yang saling kontradiksi, memang kedua aliran teologi ini mengambil dalil-dalilnya dari Al-Qur’an, tetapi dalil yang diambil difahami hanya dalam kesempitan, padahal maksud dari dalil tersebut lbih detail lagi dan lebih luas dari pada apa yang di fahami oleh mereka. Karenanya aliran teologi ini ditentang habis-habisan oleh para ulama dan nabi Muhammad pun pernah melarang sahabatnya untuk memperdebatkan masalah takdir Allah mengapa karena dihawatirkan akan salah menafsirkan ayat-ayat Allah mengenai takdir.






















DAFTAR PUSTAKA

DR. Razak abdul M.Ag,dan DR.Awar Rosihan, M,Ag. Ilmu Kalam, Pustaka Setia. Bndung. 2006
Prof. Dr. Nasution Harun. Teologi Islam, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta 1986.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar