BAB I
PENDAHULUAN
Lahirnya
filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam
yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam
tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam
hal ini, bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya
Abu Hanifah (w. 147 H/768 M). Selain menggunakan mantik, beliau juga
menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar
(substabsi) dan ‘aradh
(aksiden), yang notabene
banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya.
Ini
membuktikan, bahwa mantik sebagai
teknik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan oleh ulama kaum
Muslim pada abad ke-2 H/8 M. Hanya saja, ini tidak secara otomatis menunjukkan
bahwa filsafat telah dikaji secara mendalam pada zaman itu. Bukti di atas hanya
membuktikan pemanfaatan logika mantik dalam menghasilkan kongklusi. Kesimpulan
ini juga tidak dapat digunakan untuk menarik kongklusi yang lebih luas mengenai
kemungkinan logika telah dipelajari secara mendalam oleh para mutakallimin,
sebagaimana logika yang diuraikan oleh Ibn Sina. Sebab, bukti yang akurat
menunjukkan, bahwa perkembangan pemikiran filsafat Yunani di negeri Islam baru
terjadi setelah aktivitas penerjemahan pada zaman Abbasiyah.
Meski
demikian, penggunaan logika (mantik), diakui atau tidak, telah membuka celah
masuknya filsafat di Dunia Islam. Karena itu, pasca generasi Washil, filsafat
Yunani kemudian dipelajari secara mendalam oleh ulama Muktazilah, separti
Dhirar bin Amr, Abu Hudhail al-‘Allaf, an-Nazhzham, dan lain-lain. Dari sinilah
kemudian, lahir karya mereka, seperti Kitâb
ar-Radd ‘alâ Aristhâlîs fî al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya Dhirar bin ‘Amr, Al-Jawâhir wa al-A‘râdh dan
Tathbît al-A‘râdh,
karya Abu Hudhail al-‘Allaf, Kitâb
al-Manthiq dan
Kitâb al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya an-Nazhzham.
Di
samping itu, penyebaran filsafat ini semakin meningkat, khususnya sejak
al-Makmun, murid Abu Hudhail al-‘Allaf, tokoh Muktazilah Baghdad, mendirikan
Baitul Hikmah tahun 217 H/813 M; sebuah pusat kajian filsafat yang dipimpin
oleh Yuhana bin Masawih. Di kota ini juga al-Kindi (w. 260 H/873 M) banyak
berinteraksi dengan para penerjemah filsafat dari bahasa Yunani dan Syria ke
dalam bahasa Arab, seperti Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M) dan Ibn
Na‘imah (w. 220 H/830 M). Di sinilah al-Kindi juga dibesarkan sebagai filosof
Arab yang pertama. Setelah itu, menyusul nama-nama seperti al-Farabi (w. 339
H/951 M) dan Ibn Sina (w. 428 H/1049 M). Mereka adalah para filosof yang hidup
di Timur. Di Barat, lahir nama-nama seperti Ibn Bajjah (478-503 H/1099-1124 M),
Ibn Thufail (w. 581 H/1185 M), dan Ibn Rusyd (w. 600 H/1217 M).
Secara
umum, ciri filsafat mereka tidak jauh dari filsafat Yunani yang didominasi oleh
Plato dan muridnya, Aristoteles. Baik pandangan al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina,
Ibn Bajjah, Ibn Thufail maupun Ibn Rusyd, semuanya nyaris hanya membela
pandangan Plato atau Aristoteles. Kadang-kadang mereka terlibat untuk
mengkompromikan kedua pandangan tokoh ini, seperti yang dilakukan oleh
al-Farabi, atau bahkan mencoba mengkompromikan Islam dengan pandangan kedua
filosof Yunani tersebut, seperti yang dilakukan oleh al-Kindi atau Ibn Rusyd.
Karena itu, tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun yang menyatakan
bahwa mereka hanyalah para penjiplak (al-muntahilûn).
Artinya, apa yang mereka tulis itu bukan merupakan pemikiran mereka sendiri,
melainkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof Yunani
sebelumnya. Jumlah mereka, kata an-Nabhani, tidak banyak, sehingga
pandangan-pandangan mereka tidak menjadi arus utama pemikiran umat Islam pada
zamannya.
Sementara
itu, filsafat Persia dan India juga berkembang di Dunia Islam, terutama setelah
ditaklukkannya kedua wilayah tersebut pada zaman permulaan Islam. Hanya saja,
kalau filsafat Yunani telah melahirkan para filosof Muslim, maka filsafat
Persia dan India tidak. Salah satu faktornya adalah karena minimnya referensi
kedua filsafat tersebut—kalau tidak boleh dibilang tidak ada—yang bisa dikaji
oleh kaum Muslim.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Adakah Filsafat dalam Islam?
Secara
harfiah, istilah filsafat itu berasal dari kata philosophia. Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985
M), mengutip keterangan Plutarch (± 100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh
Phytagoras (572-497 SM), yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah. Kemungkinan
yang mengarabkan pertama kali adalah Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M),
penerjemah buku Timeaus,
karya Plato. Sebab, kata philosophy
(Arab: falsafah)
itu ada di dalam buku tersebut. Hanya saja, bukti yang paling otentik
penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-Ulâ fî mâ dûna ath-Thabi‘iyyah wa
at-Tawhîd, karya al-Kindi.
Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek
(Yunani Kuno), yaitu philos dan
sophia. Philos artinya
cinta; atau philia
berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan,
pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi.
Philosophia, menurut
al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah
al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang
yang mencintai kebijaksanaan). Ini seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashar Kitâb at-Tuffâhah (Ringkasan
Kitab Apel).
Sacara
khusus, hikmah (wisdom)
ini kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah
(intelektual) dan ‘amaliyyah
(praktis). Sebab, kebahagiaan (happiness)
yang dikehendaki oleh filosof adalah substansinya; virtuous activity is identical with happiness (melakukan
kebaikan adalah identik dengan kebahagiaan). Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa
diraih melalui wisdom,
baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge
of the good) maupun melaksanakan kebaikan (virtuous activity).
Istilah
filsafat ini kemudian digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan
tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Al-Farabi menyebutnya
sebagai pengetahuan tentang eksistensi itu sendiri. Al-Khawarizmi menyebutnya
pengetahuan tentang hakikat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang
lebih baik sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoretis (nazhari) dan yang praktis
(‘amali).
Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan merupakan pengetahuan an sich, tetapi juga
merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun
praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq)? Secara praktis,
filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr)? Dari dua spektrum inilah kemudian
filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan
tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim
al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme)
di luar agama para nabi. Disamping itu, filsafat memang ajaran yang murni
dihasilkan oleh akal manusia.
Jika
demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun
pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan),
termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga
telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang
dihasilkannya. Tentang yang terakhir ini, barangkali dapat merujuk buku at-Tafkîr karya Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani.
B. Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat Islam
Harus
ditegaskan kembali, bahwa pemikiran filosof pada zaman Kekhilafahan Islam
memang bukan merupakan arus utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya
penggunaan logika (mantik), telah merambah hampir ke seluruh bidang; mulai dari
bidang akidah, usul fikih hingga tasawuf—meski fikih tetap harus dikecualikan
dari penggunaan logika tersebut.
Di bidang
akidah, penggunaan logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di
kalangan para ulama usuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam. Lahirnya ilmu
kalam bukannya mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu kalam inilah
yang menyebabkan akidah kaum Muslim diwarnai dengan perdebatan demi perdebatan.
Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan substansinya sebagai pondasi. Sebab,
akidah tersebut telah oleng.
Para ulama ushuluddin yang juga ulama ushul fikih itu kemudian membawa pola
berpikir tersebut dalam bidang ushul fikih. Perdebatan tentang hasan, qabîh, khayr, syarr, sampai
muqaddimah
(premis) pun terbawa. Karena itu, tidak pelak lagi, ushul fikih pun dipenuhi
dengan perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah
kehilangan substansinya sebagai kaidah (pondasi), yang digunakan untuk menggali
hukum.
Fenomena
pertama, diakui atau tidak, telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum Muslim
tentang qadhâ’
dan qadar,
takdir, surga, neraka, serta keimanan yang bulat kepada Allah. Kondisi ini
diperparah dengan pandangan sufisme—yang banyak dipengaruhi filsafat Persia dan
India—seputar kehidupan panteistik, asketik, dan lain-lain. Semuanya ini pada
gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan kaum Muslim.
Kemudian,
fenomena kedua telah menyebabkan hilangnya ketajaman intelektual kaum Muslim
dalam menyelesaikan persoalan. Daya kreativitas mereka menjadi tumpul. Ushul
fikih berkembang, tetapi ijtihad
mandeg; bukan semata-mata karena adanya seruan ditutupnya pintu
ijtihad, tetapi juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih sebagai kaidah istinbâth (penggalian hukum).
Setelah
semuanya itu, maka sempurnalah kejumudan kaum Muslim sehingga mereka tidak
mampu menyelesaikan berbagai persoalan baru yang silih berganti, yang mereka
hadapi. Bertambahnya wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau
tidak, telah memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad
itu telah hilang, masalah pun akhirnya menumpuk. Beban mereka pun semakin hari
semakin berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan renaissance-nya, mereka
pun bingung: menerima kemajuan Barat, dengan segala produknya, atau menolaknya.
Pada saat itu, ada yang secara ekstrem menolak segala produk Barat, dan ada
yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun di antara mereka yang bisa
membedakan: mana tsaqâfah, dan
mana ‘ulûm; mana hadhârah dan mana madaniyah.
Seiring
dengan kakalahan kelompok yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil
oleh kaum Muslim, mulai yang bersifat fisik sampai non-fisik. Dari sanalah,
perundang-undangan ala Barat mulai diperkenalkan kepada kaum Muslim. Lalu model
fikih taqnîn
(yang berbentuk undang-undang dengan pasal perpasal) pun mulai muncul; sebut
saja kitab al-Ahkâm
al-’Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan Barat mulai masuk dan
menggantikan perundang-undangan Islam. Kemudian terjadilah pemisahan mahkamah
menjadi: sipil dan syariah. Demikian seterusnya hingga sedikit demi sedikit
hukum Islam pun lenyap dari peredaran dan tidak lagi diterapkan, selain dalam
bidang ahwâl syakhshiyah.
Selanjutnya,
tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri
dengan dibubarkannya institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal
Attaturk. Setelah itu, sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a‘lam. [Mohammad
Maghfur Wachid]
Abu Hanifah mengatakan, “Allah Swt.
adalah satu (yang diketahui) bukan melalui angka, tetapi dengan cara, bahwa Dia
tidak mempunyai sekutu.” Lihat: Abu Hanifah, Matan
al-Fiqh al-Akhbar, hlm. 323. Ini melanjutkan perdebatan Plato
tentang angka, apakah angka merupakan substansi atau aksiden. Untuk
keluar dari perdebatan tersebut, kelihatannya Abu Hanifah menggunakan jawaban
taktis di atas.
Menurut
Ibn Sina, mantiq
(logika) meliputi sembilan bagian. Pertama,
pembahasan tentang pembagian lafal dan makna, yang dijelaskan dalam kitab yang
populer dengan judul, al-Madkhal,
karya Pirtoes. Kedua,
pembahasan mengenai makna angka tunggal, yang dijelaskan dalam kitab Categories, karya
Aristoteles. Ketiga,
pembahasan mengenai susunan makna tunggal secara positif dan negatif, yang
dijelaskan dalam kitab On
Interpretation, karya Aristoteles. Keempat, pembahasan mengenai susunan
proposisi, atau analogi, yang dijelaskan dalam kitab Prior Analytics, karya
Aristoteles. Kelima,
pembahasan untuk mengetahui secara mendalam mengenai syarat-syarat analogi
dalam menyusun proposisi yang menjadi premis-premisnya. Ini dijelaskan dalam
kitab Ponethyca,
karya Aristoteles. Keenam, pembahasan mengenai
analogi yang bermanfaat untuk menyerukan kepada orang yang kurang paham. Ini
dijelaskan dalam kitab Tonica,
karya Aristoteles. Ketujuh, pembahasan mengenai
kesalahan berpikir yang terjadi dalam penyusunan argumentasi dan penggunaan
dalil, yang terangkum dalam kitab On
Sophistical Refutations, karya Aristoteles. Kedelapan, pembahasan yang
berisi standar pidato yang bermanfaat, yang terangkum dalam kitab Rethoric karya
Aristoteles. Kesembilan,
pembahasan yang berisi ungkapan bersyair, yang terangkum dalam buku Rethoric karya
Aristoteles.
C. Filsafat Menurut Pandangan Para Ulama
Para ulama yang menganggap filsafat sebagai
ilmu sesat adalah para ulama arab saudi dan seluruh ulama di dunia ini yang
beraliran salafy/wahaby/ ahlus sunnah wal jamaah. Dalam berbagai buku dan
majalah dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu sesat yang bertentangan dengan
ajaran islam. Namun harus diingat bahwa definisi ilmu filsafat yang dianggap
sesat adalah ilmu filsafat yang bertentangan dengan ajaran islam. Imam Ghazali
telah menulis buku yang mengkritik filsafat dan menyatakan kafirnya berbagai
ajaran fisafat. Namun kemudian Ibnu Rusyd (pengarang kitab bidayatul mujtahid)
menulis buku yang membantah buku Imam Ghazali tersebut, dikabarkan bahwa Ibnu
Rusyd membela filsafat, mungkin filsafat yang dibela ibnu rusyd adalah filsafat
yang tidak bertentangan dengan ajaran islam.
Dengan demikian bisa dibilang bahwa ilmu
filsafat itu terdiri dari dua bagian, bagian pertama yang tidak bertentangan
dengan ajaran islam dan bagian kedua yang bertentangan dengan ajaran islam. Dan
patut diingat bahwa dalam beragama kita tidak memerlukan filsafat karena nabi
dan para sahabatnya juga tidak mengajarkan ilmu filsafat.
Berikut ini beberapa pendapat para ulama
tentang filsafat :
- Ar-Roziy berkata dalam kitab Aqsaamul Ladzdzat : Saya telah menelaah buku-buku ilmu kalam dan manhaj filsafat, tidaklah saya mendapatkan kepuasan padanya lalu saya memandang manhaj yang paling benar adalah manhaj Al-Qur’an…(dan seterusnya).
- Abu Hamidz Al-Ghozali berkata di awal kitabnya Al-Ihya : “Jika kamu bertanya : ‘Mengapa dalam pembagian ilmu tidak disebutkan ilmu kalam dan filsafat dan mohon dijelaskan apakah keduanya itu tercela atau terpuji ?’ maka ketahuilah hasil yang dimiliki ilmu kalam dalam pembatasan dalil-dalil yang bermanfaat, telah dimiliki oleh Al-Qur’an dan Hadits (Al-Akhbaar) dan semua yang keluar darinya adakalanya perdebatan yang tercela dan ini termasuk kebid’ahan dan adakalanya kekacauan karena kontradiksi kelompok-kelompok dan berpanjang lebar menukil pendapat-pendapat yang kebanyakan adalah perkataan sia-sia dan ingauan yang dicela oleh tabiat manusia dan ditolak oleh pendengaran dan sebagiannya pembahasan yang sama sekali tidak berhubungan dengan agama dan tidak ada sedikitpun terjadi di zaman pertama… (dan seterusnya).
- Berikut ini saya kutipkan makalah Syaikh Mansyhur bin Hasan Ali Salman yang mengharamkan filsafat:
Sumber
: http://www.almanhaj.or.id/content/1936/slash/0
Haram Menjual Buku-Buku Filsafat Dan Ilmu
Kalam
Ibnu Katsier berkata dalam Al Bidayah wan
Nihayah 11/69 ketika membeberkan kejadian-kejadian pada tahun 279H: “Dalam
tahun ini diumumkan tentang terlarangnya penjualan buku-buku filsafat, ilmu
kalam dan debat. Itu merupakan keinginan Abul Abbas Al Mu’tadhid, penguasa
Islam.”
Hafizhuddin bin Muhammad yang terkenal
dengan sebutan al-Kardiry (w.872H) menceritakan sebuah hikayat yang bagus untuk
menjelaskan nilai buku-buku ini (filsafat) disisi para shahabat Nabi.
Beliau berkata : “Diceritakan, ketika Amr
bin Al-Ash menguasai kota Iskandariyah, disana ada seorang ahli filsafat
bernama Yahya, yang digelari Thumathikus -yaitu ahli ilmu nahwu- , dan penduduk
Iskandariyah melaknat dirinya. Ia menganut sekte Al-Yaqubiyah dalam masalah
trinitas, kemudian ia meninggalkan trinitas. Maka penduduk Mesir yang beragama
Nasrani mendebatnya dan menjatuhkan martabatnya di tengah-tengah masyarakat.
Takkala Iskandariyah dikuasai Amr, maka ia selalu menyertai Amr dan suatu hari
ia berkata kepada Amr: “Engkau telah mengetahui rahasia penduduk negeri ini,
dan engkau menyegel seluruh gudang yang ada, dan engkau tidak mau mengambil
menfaat darinya, padahal dalam hal ini tidak seorangpun yang menentangmu. Dan
apa-apa yang tidak engkau manfaatkan maka lebih baik diserahkan kepada kami
saja!.”
Maka Amr berkata :”Apa yang kau butuhkan?”
Maka Amr berkata :”Apa yang kau butuhkan?”
Yahya berkata :”Buku-buku filsafat yang
ada di gudang.”
“Itu tidak mungkin kecuali dengan ijin
dari Amirul mukminin,” jawab Amr.
Kemudian Umar menulis (jawaban) kepada Amr: “Adapun buku-buku yang telah kau ceritakan ,jika sesuai dengan Kitabullah, maka Kitabullah sudah mencukupinya, jika tidak sesuai dengan Kitabullah maka tidak diperlukan.(Oleh karena itu) “Lenyapkanlah” buku-buku itu.”
Kemudian Umar menulis (jawaban) kepada Amr: “Adapun buku-buku yang telah kau ceritakan ,jika sesuai dengan Kitabullah, maka Kitabullah sudah mencukupinya, jika tidak sesuai dengan Kitabullah maka tidak diperlukan.(Oleh karena itu) “Lenyapkanlah” buku-buku itu.”
Maka Amr membagikan buku-buku tersebut
pada perapian-perapian di Iskandariyah dan memerintahkan untuk membakar
buku-buku tersebut, sehingga selesailah pemusnahan buku-buku filsafat dalam
jangka 6 bulan.
Haram Menjual Buku-Buku Karya Al-Hallaj,
Ibnu Arabi Dan Tokoh-Tokoh Sufi Lainnya.
Al-Malik Al-Muayyib Ismail Abu Fida’ dalam
Akhbar Al-Basyar 4/79 :”Ketika tahun 744H, di tahun itu kami mengkoyak-koyak
dan mencuci (melunturkan tinta) Kitab Fushulul Hikam karya Muhyidin Ibnu Arabi di
Madrasah Al-Ush-furiyah di Halb sesudah pelajaran (didepan murid) sebagai
peringatan haramnya menelaah dan memiliki kitab tersebut dan aku berkata :
Kitab Fushuh ini sebenarnya tidaklah berharga .Aku membaca goresan-goresannya.
Ternyata isinya adalah sebaliknya (dari judulnya)
[Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi
12/Th.IV/1421-2000. Diterjemahkan secara ringkas oleh Aris Munandar
bin.S.Ahmadi al-Lamfuji, Penerbit Yayasn Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo
Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
- Di antara sebab perpecahan paling dominan sejak dulu sampai sekarang adalah banyaknya umat Islam yang terpengaruh ideologi serta filsafat yang datang dari negeri-negeri kafir. Apapun jenis pemikiran, ideologi dan filsafat tersebut, tetap dinyatakan berbahaya selama berkaitan dengan masalah agama, kebudayaan, hukum dan etika.
Dan menerima barang-barang impor tersebut
termasuk mengikuti tradisi orang-orang sebelum kita sebagaimana yang disitir
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau.
“Artinya : Kalian bakal mengikuti tradisi
orang-orang sebelum kamu” [Al-Hadits]
Oleh sebab itul pula setiap firqah (kelompok) dalam Islam membuat-buat sebagian besar prinsip-prinsipnya dari sekte-sekte terdahulu, Kelompok Rafidhah mengambil prinsip mereka dari Yahudi dan Majusi, kelompok Jahmiyah dan Mu’tazilah mengambil prinsip-prinsip ajaran mereka dari Ash-Sha’ibah dan filsafat Yunani. Kelompok Qadariyah mengambil prinsip ajaran mereka dari
Oleh sebab itul pula setiap firqah (kelompok) dalam Islam membuat-buat sebagian besar prinsip-prinsipnya dari sekte-sekte terdahulu, Kelompok Rafidhah mengambil prinsip mereka dari Yahudi dan Majusi, kelompok Jahmiyah dan Mu’tazilah mengambil prinsip-prinsip ajaran mereka dari Ash-Sha’ibah dan filsafat Yunani. Kelompok Qadariyah mengambil prinsip ajaran mereka dari
Nasrani. Begitulah seterusnya.
[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu
ashabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi
& Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, terbitan Darul Haq,
penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]
Sumber
: http://www.almanhaj.or.id/content/1027/slash/0
- Inilah Ibnu Taimiyah. Dia telah menulis bantahan kepada Asy’ariyah dan Mutakallimin (ahli filsafat) dalam kitab-kitab yang besar. Diantaranya, kitab bantahan kepada Fakhruddin Ar-Razi yang telah membangun madzhabnya yang menyimpang dalam sebuah kitab, yang dinamakan dengan At-Ta’sis. Ibnu Taimiyah menulis bantahan kepadanya sebanyak 4 jilid. Kitab yang dibantah tersebut sekitar kurang lebih seratus halaman. Dibantah oleh Ibnu Taimiyah dengan kitab sebanyak 4 jilid. Berisi tentang penjelasan kesesatan Jahmiyah dan pembongkaran dasar-dasar bid’ah halamiyah (filsafat). Kitab tersebut, dua jilid besar telah dicetak dan selebihnya insya Allah akan dicetak dalam waktu dekat.
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M, Diambil dari materi
ceramah Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Tanggal 3-6
Muharram 1423H di Ma’had Ali Al-Irsayd Surabaya dengan judul A’lam Dakwah
Salafiyah Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari]
Sumber
: http://www.almanhaj.or.id/content/1763/slash/0
”Mempelajari filsafat bagaikan bermain dengan api, jika
tidak berhati-hati maka kita akan terbakar, filsafat bisa membuat kita kafir
tanpa sadar”.
³³³³³³³³³
DAFTAR PUSTAKA
Ibn Sina, Risâlah fî Aqsâm al-‘Ulûm
al-‘Aqliyyah, hlm. 271-272.
Ibn al-Nadim, al-Fihrist, hlm. 288, 299
dan 286.
Badawi, al-Falsafah, hlm. 156.
Ibn
Tufayl, Hayy bin Yaqzhân,
ed. Ahmad Amīn, Dar al-Ma‘arif, Mesir, 1952, hlm. 62.
Al-Kindi, Rasâ’il al-Kindi, hlm.
35 dan 36.
Ibn Rusyd, Fasl
al-Maqâl fî mâ
bayna al-Syari‘ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, hlm. 33.
Ibn Nadim, al-Fihrist, Dar al-Kutub
al-’Ilmiyyah, hlm. 400.
Plato,
Timeaus,
http://books.mirror.org/gb.plato.html., 19 November 2001.
Al-Syahrastani,
al-Milal wa an-Nihal, hlm.
364; Aristoteles, Nicomachean
Ethics, Book I, Part 6, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html.,
19 November 2001.
Socrates, Mukhtashar Kitâb al-Tuffâhah al-Mansûb li Suqrâth, hlm.
222; Aristoteles,
Kitâb al-Tuffâhah al-Mansûb
li Aristhûtâlis, hlm. 234.
Plato,
Fîdûn wa Kitâb at-Tuffâhah,
ed. Ali Sami an-Nasysyar dan Abbas Asy-Syarbini, Dar al-Ma‘rifah, Mesir, 1974,
hlm. 222 dan 234.
Aristoteles, Nicomachean Ethics, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html.,
19 November 2001;
Aristoteles,
Politics,
http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001.
Aristoteles,
Prior Analytics,
http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001.
Al-Kindi, Rasâ’il
al-Kindi al-Falsafiyyah, ed. Abu
Ridah, Kairo, 1950, Juz I, hlm. 97.
Al-Farabi,
al-Jam‘ Bayn Ra’yay
al-Hakîmayn, ed. Albert Nashri Nader, al-Mathba‘ah al-Kathulikah, Beirut, 1969, hlm. 81.
Aristoteles,
Nicomachean Ethics, Book
I, Part 8 dan 13, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html.,
19 November 2001.
Ibn
Qayyim, Ighâthah al-Lahfân
min Mashâyid al-Syaythân, ed. Muhammad al-Faqqi, t.p., t.t., hlm.
257.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT. Yang masih memberikan nafas
kehidupan, sehingga penulis dapat menyelasaikan pembuatan makalah dengan judul ”Pandangan
Islam Terhadap Filsafat” dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar
dalam segala keteladanannya.
Tidak
lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen mata kuliah Filsafat Umum yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini
dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mandiri mata kuliah filsafat umum.
Makalah
ini dianjurkan untuk dibaca oleh semua mahasiswa pada umumnya sebagai penambah
pengetahuan dan pemahaman filsafat.
Akhirnya
penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan
penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca yang budiman pada umumnya.
Tak ada
gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan
kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna
peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
Kuningan, Juni 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
……………………………………………….……..…..
|
i
|
|||
DAFTAR ISI ………………………..………………………………..…….......
|
ii
|
|||
BAB
|
I
|
:
|
PENDAHULUAN………………………………………….....
|
1
|
BAB
|
II
|
:
|
PEMBAHASAN ..…………………………………………....
|
4
|
|
|
|
A. Adakah Filsafat dalam Islam ............................……....
|
4
|
|
|
|
B. Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat
Islam .
|
5
|
|
|
|
C. Filsafat Menurut Pandangan Para Ulama …...…........
|
9
|
DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………………..……
|
14
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar